Pendidikan Dokter: Prestisius, Kapitalis, dan Ketidaksetaraan
Jurusan paling legendaris di Indonesia adalah Pendidikan Dokter. Sebenarnya, jurusan lain juga bernilai keilmuannya, tetapi apabila kita membahas calon menantu idaman, salah satunya adalah Dokter.
Saat kebanyakan kampus mematok harga 20-200 juta-an untuk jurusan lain yang mereka naungi, Pendidikan Dokter bisa dipatok hingga 1 Milyar. Kedengarannya gila, tetapi inilah kenyataan lapangannya. Sebuah kapitalisme yang berpusat di jurusan Pendidikan Dokter.
Salah satu kampus ternama di Indonesia yang baru saja membuka Pendidikan Dokter langsung mematok 150 juta uang masuk minimal, menciptakan polemik di beberapa kalangan. Di sisi lain, minat langsung terbangun karena jurusan ini, ya, tidak salah lagi, Pendidikan Dokter. Jurusan super prestisius idaman menantu.
Ketidakterjangkauan dari Pendidikan Dokter hadir dari beberapa permasalahan yang kompleks yang ujungnya adalah ketidaksetaraan peluang. Ketidaksetaraan ini sendiri sudah hadir di jurusan lain, tetapi saat kita membahas Pendidikan Dokter, ketidaksetaraan itu seakan semakin jelas terlihat.
Permasalahan kompleks ini meliputi berbagai aspek. Tentu tulisan ini tidak akan mampu mencakup kerumitannya. Hanya beberapa yang terbesit di otak kecil ini yang saya cakupkan.
Paling pertama adalah biaya dari perlengkapan jurusan Pendidikan Dokter sendiri. Jurusan ini konon termasuk sangat mahal dalam perlengkapan yang diperlukan, seperti alat bedah, perlengkapan praktikum, dan lain-lain.
Kedua adalah prestisiusnya bidang kedokteran menciptakan supply-demand yang tidak seimbang, bahkan dibandingkan jurusan lain. Dokter adalah sebuah profesi yang bisa dibilang kasta satu karena berkaitan dengan kesehatan manusia langsung, sehingga sudah ada permintaan dasar. Ditambah statusnya yng prestisius dan peluang penghidupan setelah menjadi dokter, serta merta jurusan ini sangat menarik (demand naik).
Oke. Dua argumen ini sebenarnya serta-merta akan dipatahkan dengan "UU menjamin pendidikan yang layak" dan "Kuba saja lho dokternya merata". Tidak sesederhana itu. Definisi argumen pertama bisa diperdebatkan, karena tidak harus pendidikan dokter yang diberikan (intinya kan pendidikan, kalau jurusan lain yang pendidikan berkualitas 'kan teknis juga layak). Lagipula, pemerintah sudah menyediakan KIP-K (Bidikmisi) untuk Pendidikan Dokter demi keadilan ini.
Argumen kedua bisa patah oleh fakta perbedaan sistem negara, dimana Kuba menganut sistem yang berawalan huruf K, yang notabene berbeda dengan Pancasila di Indonesia. Sebenarnya, argumen ini justru menarik, karena memang Kuba termasuk oddball dalam hal fasilitas kedokteran. Berdasarkan riset ecek-ecek saya, ternyata ini masuk program Fidel Castro. Kuba memang memiliki program edukasi gratis dan kesehatan universal, sehingga menyokong program kedokterannya. Perlu dicatat ya, bahwa ini dengan konsekuensi dokter diatur negara dan menjadi ekspor negara, sehingga mungkin bukanlah sesuatu yang terlalu prestisius (dalam artian diperebutkan) di sana, kecuali targetnya adalah diekspor keluar supaya bisa menghidupi keluarga.
Jika kedua argumen membantah argumen awal tadi digunakan, berarti konsekuennya adalah negara harus menanggung seluruh biaya pendidikan dokter. Ya kalau di Indonesia bisa dipikir aja program wajib belajar aja susahnya sudah gimana 😅 tidak perlu suudzon urusan korupsinya, apakah sudah siap mengurus jika nyatanya saat ini PTN saja dijadikan semi-swasta melalui PTN-BH?
Selama masih menjadi jurusan prestisius, pengadaan alat dan obat harus impor atau susah untuk produksi sendiri, dan negara tidak sepenuhnya memegang strata pendidikan tinggi, maka masih panjang perjalanan menuju Pendidikan Dokter yang bisa diakses semua kalangan dengan setara.
(Ditulis jam 1 malam, so please take this whole writing with a grain of salt)
-Daffa
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar!
Posting Iklan Promosi (kecuali promosi blog) tanpa komentar ke subjek akan dihapus.