[CATATAN PRIBADI] SJY182: Antara Cuaca, Mesin, dan Kesalahan Manusia

  Sebelumnya, ini adalah analisis pribadi, dan tidak untuk digunakan sebagai sumber resmi. Saya menekankan pula bahwa ini adalah sebuah kecelakaan yang tentu memakan korban, dan ada mereka yang berduka.

Turut berduka cita atas peristiwa SJY182. Semoga amal ibadah semua korban diterima di sisi-Nya. Semoga keluarga dan kerabat diberikan kekuatan dan ketabahan.


Apabila kalian merupakan keluarga atau kerabat korban, saya dengan hormat memohon anda menutup tab ini apabila anda masih tidak nyaman dengan peristiwa ini. Kehilangan orang terkasih bukanlah hal sepele, maka dari itu jangan memaksakan diri anda.





JANGAN DISEBARKAN SEBAGAI INFORMASI RESMI TERKAIT KECELAKAAN SJY182! INI HANYALAH ANALISIS PRIBADI SAYA.



PART SEBELUMNYA


Ya, saya kembali dengan analisis seorang pemula terkait kecelakaan penerbangan SJY182 lagi. Sebelumnya, saya menyinggung bahwasanya cuaca tidak bermain faktor. Namun, setelah informasi terbaru yang saya dapatkan tengah malam tadi, maka jelas faktor cuaca KEMBALI menjadi perhitungan.

Tentu, dalam menentukan sebuah kejadian, tidak ada yang namanya single cause. Selalu ada beberapa faktor yang berkontribusi secara akumulatif dalam kecelakaan. Semisal, AF447 (Air France 447) dinyatakan penyebab utamanya adalah kesalahan pilot dan pembekuan tabung pitot (pitot tube: alat di pesawat yang berperan untuk memberikan data kecepatan pesawat), QZ8501 (Air Asia 8501) yang disebabkan oleh cuaca buruk dan kesalahan pilot (kesalahan respons) diperparah oleh dual-sidestick milik Airbus (yang mengakibatkan perintah dari kapten dan wakil kapten saling negasi), KI574 (Adam Air 574) yang disebabkan oleh cuaca buruk dan disorientasi spasial.


Oke, saya menonton salah satu interview CNN dengan salah satu pengamat aviasi, dan menyinggung adanya stalling dan kemungkinan disorientasi spasial, saya rasa saya akan mulai dari mengamati hal-hal tersebut dan bagaimana korelasinya. Kita mulai dari perkara disorientasi spasial, dimana SKYbrary menyatakan bahwa spatial disorientation is defined as the inability of a pilot to correctly interpret aircraft attitude, altitude or airspeed in relation to the Earth or other points of reference atau jika diterjemahkan disorientasi spasial (ruang) adalah sebuah ketidakmampuan dari seorang pilot untuk menerjemahkan dengan benar posisi pesawat baik dari secara horizontal (attitude), vertikal (altitude), atau kecepatan (airspeed) relatif terhadap bumi atau titik patokan lain.


Dalam kondisi pesawat datar, maka orientasi kita serupa dengan berjalan di tanah. Saat posisi pesawat turun, maka orientasi kita seharusnya adalah menyadari kita turun ke bawah (descend). Terakhir, dan berhubungan dengan waktu kejadian kasus SJY182, saat naik, maka orientasi kita seharusnya adalah kita naik ke atas (ascend). Problematikanya adalah, kita perlu titik patokan untuk menyadari kondisi turun dan naik, dimana kita tidak bisa mematok secara ideal terhadap titik tumpu kita (Bumi).

Jika benar mengalami disorientasi spasial, maka ada kemungkinan pesawat dalam kondisi menukik sementara mengalami stall (yang akan dijelaskan setelah ini) sehingga pilot tidak bisa melakukan recovery dari kondisi berbahaya. Saat kita kehilangan orientasi spasial di situasi ini, tindakan seperti menaikkan kekuatan mesin justru membuat semakin sulit untuk pemulihan, dan ini bisa dilakukan akibat insting kita meminta pesawat untuk naik, padahal kita perlu menurunkan moncong pesawat untuk recover dari stall.

Lalu, apakah benar terjadi disorientasi spasial? Saat ini, kita tidak bisa memberikan kepastian tanpa menunggu CVR. Indikasi kehilangan orientasi adalah saat pilot atau kopilot kesulitan memastikan posisi mereka dengan melihat ke informasi dari mesin (asumsi tidak ada kerusakan mesin).


Sekarang perkara stall. Sebelum kita memulai, mari kita pahami sejenak apa itu stall. Sederhananya, stall adalah kondisi tidak cukupnya angin yang masuk ke mesin untuk mengangkat pesawat. Jika kita bicara fluida dinamis, maka stall adalah berkurangnya koefisien angkat yang diciptakan oleh foil dengan naiknya derajat. Dengan kata lain, maka terjadi kondisi dimana pesawat kehilangan kecepatan dan memasuki kondisi stall. Jika dilihat dari dua data yang saya berikan di tulisan sebelumnya:

Ketinggian SJY182: 10.725 - 8.950 - 8.125 - 5.400 - 250 (satuannya feet)

Kecepatan SJY182: 287 - 224 - 192 - 115 - 358 (satuannya knot)

Perhatikan bagaimana kecepatan turun dari 287 ke 224. Ini adalah indikasi terjadinya stall. Semakin tinggi posisi sebuah pesawat, semakin besar kecepatan minimal yang diperlukan. Namun, semakin tinggi pula sebuah pesawat, semakin kecil pula kecepatan maksimal yang tersedia. Ini berhubungan dengan coffin's corner dimana pesawat harus menjaga kecepatannya dengan SANGAT hati-hati untuk menghindari hilangnya daya angkat yang berakibat pada stall pada ketinggian yang sangat tinggi. Dalam kasus SJY182, kemungkinan kecepatan di 10.000 kaki dengan kondisi cuaca yang ada kurang memungkinkan untuk mempertahankan daya angkat.

Apakah stall itu tidak bisa dipulihkan? Sebelum horor, saya jawab dengan kalem: Bisa kok. Seseorang bisa recover kok dari stall. Namun, dalam proses recovery diperlukan ketinggian yang memadai dan relatif dari setiap bentuk pesawat, yang pada jenis pesawat besar memerlukan ribuan kaki untuk pulih.

Dalam keisengan saya meneliti tentang stall, saya menemukan sebuah teori yang disebut graveyard spiral yang notabene, menurut saya, SANGAT COCOK dengan pola yang ditunjukkan oleh SJY182 dalam momen terakhirnya jika kalian mencoba menggambarkan posisi setiap titik dengan memasukkan derajat yang dihadapi oleh pesawat.


Apakah cuaca berpengaruh? Sangat berpengaruh. Ada dikalangan pilot bahwasanya awan paling menakutkan adalah awan cumulonimbus, dan jika SJY182 benar masuk ke dalam salah satu awan ini, mungkin akibat ilusi radar seperti kasus GA421, atau pesawat memang tidak memiliki pilihan selain engage ke dalam awan (terkepung, sulit manuver, dan lain sebagainya). Namun, apabila dikatakan akibat serangan petir, sepertinya kurang memungkinkan karena pesawat di desain dengan penangkal petir (listrik statis). Menurut saya, kemungkinan besar justru menumpuknya es atau air yang berpotensi menggagalkan mesin atau menurunkan kekuatan mesin.


Sebenarnya, yang krusial berikutnya adalah mencari laporan maintenance dan write-ups, sayangnya hal tersebut hanya dimiliki oleh KNKT dan pihak maskapai. Padahal, dengan laporan itu, kita bisa memastikan apakah benar-benar dapat dikatakan "layak terbang", karena kalau kita hanya percaya omongan pihak maskapai, maka kita bisa saja sebenarnya ada kecolongan dari proses maintenance perusahaan.

Selain itu, sebagaimana pun saya benci media mengabarkan gaji pilot dan juga kondisi korban, hal yang perlu difokuskan JUSTRU adalah apakah tidak ada kendala secara finansial dari Sriwijaya Air yang berdampak pada gaji perusahaan. Hal-hal seperti ini bisa berakibat fatal karena kesulitan finansial perusahaan yang menghambat gaji bisa membuat pilot tidak bekerja optimal akibat kegagalan manajemen perusahan (semisal perlu mengambil pekerjaan lain untuk menutup penghasilan).


Jadi, sejauh ini, yang saya pegang adalah graveyard spiral yang disebabkan oleh kemungkinan terjadinya spatial disorientation akibat cuaca buruk (angin dan hujan). Alternatifnya, saya mencurigai adanya probable cause dari sisi manajemen dan maintenance yang berkontribusi terhadap peristiwa ini, namun dengan kondisi saat ini belum terbukti. Ya, sekarang saya rasa saya bisa beristirahat tenang dulu sampai ada informasi yang jelas lagi, terutama setelah mereka selesai dengan blackbox dan juga mendapatkan bangkai pesawat dari laut (karena ada beberapa yang hanya mudah ditemukan melalui bukti fisik pesawat tersebut). 

Mau nulis hal lain saja setelah ini. Setidaknya dengan menulis ini, saya semakin mengerti kenapa pekerjaan KNKT, NTSB, dan juga lembaga pemeriksaan kecelakaan transportasi negara lain BUKANLAH PEKERJAAN GAMPANG!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[HOAX] Pesan Juru Kunci

Daftar Enzim Pencernaan, Letak dan Fungsi

Typeform : Membuat Formulir dengan Mudah!