Perkuliahan: Jika Aku Bisa Bertemu Kamu 4 Tahun Lagi [Semester 1]

Tulisan ini dibuat sepenuhnya dengan kepingan memori yang masih bersisa di dalam benak. Sebagaimana memori pada umumnya, kemungkinan besar ada event yang tidak 100% akurat dengan dunia nyata. Begitulah segala recount yang aku ketahui, sometimes they are not most accurate of an event retelling.


Semester pertama, ya begitulah. Semester dimana kita jadi maba dan diteriak-teriaki, dihina-hinakan, dan seribu satu kerendahan lainnya. Oh, tidak membantu fakta bahwasanya kampusku adalah kampus dengan sistem yang paling keras, setidaknya menurut sebagian pihak yang mengklaim. Fakta bahwasanya jurusan, ralat, himpunan, yang aku ikuti adalah yang kedua terkeras -katanya- tidak membantu sama sekali.

Namun, terlepas dari itu. Ada satu kepingan lain dalam dunia kuliah ini yang aku pegang di awal. 4 tahun lulus, demi sebuah kalimat abstrak yang hari ini, kala aku menulis ini, sudah tidak bisa aku ingat lagi apa benar terlontar atau tidak. Setidaknya, hal abstrak yang kebenarannya saja ku ragukan memberiku alasan bertarung untuk tiga tahun pertama. Mungkin harus aku atribusikan bagaimana berguna sebuah ilusi terhadap diri seseorang.


Mereka menyebutnya kota pahlawan. Ya, mungkin kalian sudah tahu dimana kisah ini ditulis. Aku malas untuk terlalu menunjukkan, ditakutkan ada pihak yang menganggap aku merendahkan, meski aku tidak ada niat demikian. Ini adalah sebuah tulisan murni tidak berpihak selain pada egoku sendiri.

Semester pertama lebih kepada mencoba kenal dengan orang-orang baru, maaf, ratusan orang baru, di sekitarku. Dari mereka yang ekonominya berbeda-beda, kultur yang berbeda-beda, hingga pemahaman yang berbeda-beda tentang dunia perkuliahan.

Soal sistem keras yang aku bicarakan waktu menyinggung himpunan, aku sebenarnya tidak bercanda. Hanya saja, dekrit kampus, kalau mau bahasa kerennya (biar seperti dekrit presiden), memberikan perlindungan kepada kami para maba di semester pertama. Itu membuat mereka tidak bisa berbuat banyak selain mengumpulkan kami untuk sebuah 'konsolidasi'. Dan sebagaimana aku selalu tidak suka direndahkan, aku sering berakhir adu bantah dengan para senior, karena memang menjengkelkan bagiku. Mencoba melindungi 'angkatan' adalah bonus.

Di luar dari itu, semester ini memberikanku perkenalan dengan banyak orang baru. Dari teman satu forum daerah (FYI, angkatanku menginisiasi forda terbentuk secara penuh untuk kampusku), satu angkatan, hingga satu UKM. Di awal ini, masih banyak sifat SMA-ku yang ... kekanak-kanakan, aku bawa ke kehidupan kampus.

Dari sepupu yang mengeluhkan etika, teman-teman yang aku kesulitan untuk benar-benar terhubung, hingga berbagai macam organisasi aku jamah untuk mencari identitas diri. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengabdikan pada satu organisasi, yang akan menjadi kisah panjang selama 3 tahun kelak. Selain itu, aku mulai bisa berkenalan dengan teman-teman seangkatanku, meski pada akhir tahun ke-4, aku seperti terisolir dari mereka.

Di semester ini pula aku mulai paham dengan definisi Bhinneka Tunggal Ika, serta bagaimana kehidupan menghubungkan dari berbagai penjuru. Dari Aceh hingga Papua, semua ada. Begitulah yang aku saksikan di kampus ini.


Ada beberapa teman yang namanya ingin aku sebut, yang kelak akan berperan panjang dalam kehidupan empat tahun selanjutnya. Namun, aku tidak berhak membuka nama mereka tanpa izin mereka. Maka dari itu, hanya notasi rujukan yang aku gunakan, memberikan bayangan tentang diri mereka.

Pertama adalah teman akrab SMA, yang lebih bisa disebut teman sejak kecil. Takdir terkadang lucu, kembali mempertemukan kami hingga dari 10 tahun kami bersekolah, 8-nya kami jalani di satu kelas yang sama. Hidup selucu itu. Sekarang, tambahkan 4 tahun di kampus ini.

Kedua adalah teman satu forum daerah dan bertetangga jurusan. Sebagai gambaran, kelas jurusanku bersembunyi di antara dua raksasa kampus, jurusan para sesepuh. Meskipun benar, aku bernaung di himpunan yang lokasi jurusannya tidak berdekatan, lokasi kuliahku justru diapit dua raksasa asing.

Ketiga, teman-teman dari UKM yang aku putuskan untuk bernaung. Mereka memberikan aku tempat pelarian dengan idealisme gilaku. Aku tidak bisa menyocokkan diri dengan mindset mereka di sekitarku, dan UKM menjadi rumah pelarianku.

Keempat, salah satu dari mereka yang menjalankan sistem pada kala aku masih memulai. Awalnya, aku memberikan rasa segan dan takut, namun pada akhirnya aku mengerti bahwasanya dia punya pemikiran dan impian yang luas, tapi terbatasi oleh apa yang ada saat itu.

Ya, mereka yang Tuhan pertemukan padaku di semester pertamaku. Tahun dimana anak SMA bocah dengan idealisme sinting mencari identitas di kampus yang notabene maju. Bertarung untuk tidak tergerus dalam pergulatan tidak manusiawi.

Tak lupa pula, ada dua dosen yang aku tidak bisa cukupkan kata terima kasih. Satu, beliau yang tidak segan mengajar dengan segala kesabaran, bahkan kala aku masih mencoba menyesuaikan dengan kultur tanah yang disebut 'sekeping tanah surga'. Dua, beliau yang tidak segan mengajar dengan gaya kerasnya, namun bersahabat dan membuat kami menyadari bahwasanya batas kami bisa didobrak, bisa diretakkan, menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan tugas-tugas yang kalau orang awam dengar setara dengan 'gila, maba mana yang bisa?'. Terima kasih atas usaha dosen-dosen terhormat yang membuat kami lebih baik.


Mungkin jika aku bisa mendapatkan izin nama-nama, aku akan membuka identitas sebagian dari mereka, mungkin. Lagipula, yang dimaksud bisa merasakan, meski tulisanku abstrak, apakah aku merujuk kepada mereka atau tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[HOAX] Pesan Juru Kunci

Daftar Enzim Pencernaan, Letak dan Fungsi

Typeform : Membuat Formulir dengan Mudah!