Tanpa Air Mata, Hanya Luka dan Penat
Silahkan dikata bahwasanya diri ini telah jauh dari-Nya. Hamba lemah ini terima kalimat itu dan acuhkan saja. Tidak ada perlu dalam menyangkal sesuatu yang bersifat pribadi.
Dan kala lembaran ini kembali di titik pertemuan. Sudah tiga lembaran besar ditutupkan. Memasuki akhir dari perjalanan, dengan posisi sementara berada di depan barisan. Sementara, karena dikata nan hati perkenankan pun tidak. Prestise dari angka empat itu hanyalah prestise demi dua insan mulia. Tak kurang, tak lebih.
"Mau lulus berapa tahun?" Kalau kalian tanyakan pada diri ini, jawaban hamba hanyalah duplikasi berulang. Tidak dikata, tanpa tulisan, bisa kalian jawab sendiri.
"Empat."
Semua mahasiswa, kala masih seumur jagung, akan berjuang mendapatkannya. Kala di akhir sekalipun, jika masih ada sempat kala baginya, pasti dia perjuangkan setengah mati. Namun, aku di sini justru tidak tertarik dengan semua itu.
Kala baru seumur jagung, aku ingat beberapa hal yang aku inginkan. Lulus 3,5 atau 4 tahun itu di antaranya. Bukan, 4 bukan dalam daftar utama. Justru 3,5 itulah poin paling prestise bagi diri ini. Gila? Tidak, sangat rasional.
Bisa dikata bahwasanya sistem bisu milik kampus adalah saksi bisu dari probabilitas itu. Secara gamblang aku memenuhi keinginan probabilistik kecil di jurusan nan katanya nyaris mustahil. Nyaris. Hanya 1 dari 4 angkatan yang telah berhasil. Tidak ada yang salah dari tulisan tadi. Hanya 1 dari 4 angkatan yang lulus 3,5 tahun.
Entah mengapa, angka 4 itu sendiri yang menjadi dera luka bagiku. Antara harapan ini terjawab atau harapan orang tua terjawab, aku tahu ada luka di dua sisi koin. Tidak ada kebebasan dan aku yang membakar diri ini dalam penderitaan. Aku sudah kehilangan segalanya, hanya sisa bayangan yang terus berjalan demi sisa ambisi orang lain.
They never cared. They only see me with what their little eyes want them to see of me.
Can I even resurrect myself, after fallen so deep down?
Dan kala lembaran ini kembali di titik pertemuan. Sudah tiga lembaran besar ditutupkan. Memasuki akhir dari perjalanan, dengan posisi sementara berada di depan barisan. Sementara, karena dikata nan hati perkenankan pun tidak. Prestise dari angka empat itu hanyalah prestise demi dua insan mulia. Tak kurang, tak lebih.
"Mau lulus berapa tahun?" Kalau kalian tanyakan pada diri ini, jawaban hamba hanyalah duplikasi berulang. Tidak dikata, tanpa tulisan, bisa kalian jawab sendiri.
"Empat."
Semua mahasiswa, kala masih seumur jagung, akan berjuang mendapatkannya. Kala di akhir sekalipun, jika masih ada sempat kala baginya, pasti dia perjuangkan setengah mati. Namun, aku di sini justru tidak tertarik dengan semua itu.
Kala baru seumur jagung, aku ingat beberapa hal yang aku inginkan. Lulus 3,5 atau 4 tahun itu di antaranya. Bukan, 4 bukan dalam daftar utama. Justru 3,5 itulah poin paling prestise bagi diri ini. Gila? Tidak, sangat rasional.
Bisa dikata bahwasanya sistem bisu milik kampus adalah saksi bisu dari probabilitas itu. Secara gamblang aku memenuhi keinginan probabilistik kecil di jurusan nan katanya nyaris mustahil. Nyaris. Hanya 1 dari 4 angkatan yang telah berhasil. Tidak ada yang salah dari tulisan tadi. Hanya 1 dari 4 angkatan yang lulus 3,5 tahun.
Entah mengapa, angka 4 itu sendiri yang menjadi dera luka bagiku. Antara harapan ini terjawab atau harapan orang tua terjawab, aku tahu ada luka di dua sisi koin. Tidak ada kebebasan dan aku yang membakar diri ini dalam penderitaan. Aku sudah kehilangan segalanya, hanya sisa bayangan yang terus berjalan demi sisa ambisi orang lain.
They never cared. They only see me with what their little eyes want them to see of me.
Can I even resurrect myself, after fallen so deep down?
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar!
Posting Iklan Promosi (kecuali promosi blog) tanpa komentar ke subjek akan dihapus.